Mempertahankan Idealisme dalam Pernikahan [1]
Segala sesuatu yang baru dalam hidup kita, akan selalu menggetarkan jiwa, melibatkan emosi yang terdalam, dan senantiasa diperhatikan serta direkam oleh akal dengan sangat baik. Begitu pun ketika kita bicara tentang pernikahan. Sebuah fase baru bagi seorang pemuda dalam kehidupannya. Fase dimana ia telah menyempurnakan separuh agamanya, sebagaimana hadits dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي
“Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 625)
Maka tak heran, kita melihat fenomena disekitar kita, dimana ketika seorang pemuda akan memasuki fase ini, ia akan mempersiapkan segala sesuatunya dengan amat detail dan baik. Mulai dari mempelajari ilmu agama sedalam-dalamnya, memperbaiki diri pribadi, memilih calon pasangan terbaik, hingga sampai pada prosesi akadnya.
Tentu hal yang paling penting baginya diantara beberapa hal diatas adalah memilih pendamping hidup. Karena ia sadar betul dengan prinsip, bahwa Allah menganugerahkan kepadanya orang tua, juga anak-anaknya kelak, namun ia tidak dapat memilih mereka, sementara istri atau suami adalah anugerah dari Allah, dimana ia yang diberikan kebebasan dalam memilih. Maka mana mungkin hal yang begitu penting ini ia anggap sebagai hal sepele.
Tak lupa pula ia selipkan mimpi-mimpinya setelah mendapatkan pendamping hidup, seperti menjadikan rumah tangga senantiasa dalam koridor Islam, menghafal Qur'an bersama pasangan, melanjutkan sekolah, hingga puluhan bahkan ratusan mimpi lainnya.
Pengalaman mengajarkan bahwa mempertahankan idealisme dalam pernikahan tidaklah semudah itu. Mungkin banyak diantara kita yang hari ini membayangkan bahwa calon istri atau calon suami kita adalah sosok yang hebat, penuh dengan kelebihan, dan ideal dalam pandangan kita, sehingga membuat kita tertarik untuk menikahinya.
Namun nyatanya, setelah terjadi pernikahan, apa yang ia sangka selama ini ternyata terbalik 180 derajat. Ia jadi tahu segala hal tentang pasangannya secara detail, spesifik, dan dominan lebih daripada orang tua pasangannya. Karena bukan saja serumah, tapi juga sekamar, bahkan seranjang dengan pasangannya.
Ia pun kecewa, hingga lunturlah idealisme yang ingin ia bangun bersama pasangan hidupnya. Mimpi-mimpi yang telah ia rancang selama ini hanya menjadi tulisan kertas yang lama kelamaan akan hancur bersama dengan kehidupan normal yang ia laksanakan.
Kehidupan normal yang awalnya, normal berdasarkan pandangan agama, berubah menjadi kehidupan normal dalam standar budaya. Ia dan pasangannya, beserta anak-anaknya terkena berbagai virus liberalisme, pluralisme, atheisme, serta isme-isme lainnya. Maka jadilah mereka orang-orang yang merugi, di dunia juga di akhirat.
Maka, Syaikh 'Aidh Al Qarni dalam kitab Fityatun Amanu bi Rabbihim, menyampaikan 9 masalah yang harus diatasi manusia dalam hidupnya, yakni:
1. Lemahnya Iman
2. Kurang Bersungguh-sungguh dalam Kehidupannya
3. Waktu yang Terbuang Sia-sia
4. Terlalu Tergesa-gesa dalam Hidup
5. Tutur Kata dan Sikap yang Kasar
6. Terlilit oleh Dosa yang Menghalangi
7. Mengasingkan Diri dari Masyarakat
8. Muslimah yang Enggan Berdakwah
9. Gaptek, Minim Pengetahuan
Semoga dengan berusaha mengatasi dan menyelesaikan masalah-masalah diatas, idealisme dalam pernikahan dapat kembali utuh. Menjadikan kita bersama pasangan selalu fokus untuk sama-sama memperbaiki dan mengembangkan diri. Tidak saling mencela dalam kelemahan dan kekurangan. Saling memikul beban kehidupan, suka maupun duka. Mendidik generasi rabbani dan qurani yang akan membanggakan kita di hadapan Allah, dan Rasulullah shallahu 'alaihi wasallam.
Bersatu padu menghebatkan diri dihadapan Allah dengan jalan taqwa.
Menghebatkan diri dihadapan manusia dengan jalan manfaat.
Dan menghebatkan diri dihadapan calon anak-anak kita nanti, sehingga mereka bangga telah terlahir dari orang tua seperti kita. Karena mereka tahu bahwa orang tua mereka adalah seorang da'i, mujahid, ilmuwan, pengusaha yang dermawan, atau politikus yang berprinsip serta hamba yang dicintai Allah.
Tak ada yang salah ketika kita mempunyai idealisme, namun mempertahankan prinsip idealisme dan istiqomah di dalamnya akan menjadi tantangan tersendiri bagi dua insan yang terikat dalam pernikahan.
Tulisan ini mengingatkan untuk diri pribadi, juga kepada yang lainnya bahwa kita seorang muslim, diciptakan sebagai umat terbaik, maka bersikaplah sebagai umat terbaik, dan terunggul diantara umat lainnya.
Oleh:
Abdul Holid
Komentar
Posting Komentar